Menyimak cerita cerita perjuangan perempuan Aceh dalam mempertahankan tanah indatu dimasa lalu semakin membuat kita tertanya tanya, bagaimanakah sebenarnya karakter asli perempuan Aceh dan bagaimanakah sikap perempuan Aceh bila berhadapan dengan konflik perasaan..?
Sosok Cut Nyak Dhien rasanya sudah cukup menggambarkan betapa wanita Aceh itu begitu tegar dan kuat hingga menggentarkan serdadu serdadu Belanda yang dikirim untuk menumpas perlawanan para pejuang Aceh pada masa itu, Cut Nyak Dhien merupakan simbol betapa wanita Aceh memiliki karakteristik yang unik dan amat sukar difahami serta sangat berbeda dengan wanita wanita lainnya di seantero tanah air, namun dewasa ini wanita Aceh seperti kehilangan jati diri akibat berbagai persoalan kehidupan sehingga meruntuhkan nilai nilai dasar sebagai seorang wanita yang punya matlamat hidup, punya prinsip, dan tegar dalam situasi apapun.
Persoalan ini tidak lepas dari perkembangan teknologi modern sehingga budaya budaya asing semakin beraklerasi dan beradaptasi secara bebas dalam kehidupan sosial, adat istiadat dan gaya hidup sehari hari, budaya barat menjadi arah kiblat sebahagian orang dalam menentukan corak hidup hari ini, celakanya semua itu seolah sudah dianggap lazim serta tidak peduli telah mengingkari norma dan adat istiadat yang berlaku. prinsip prinsip dasar yang tertanam dalam jiwa seakan semakin terkikis secara perlahan, gaya hidup secara islami semakin tidak lagi mendapat tempat dalam kehidupan sehari hari masyarakat kita.
Sebagai wanita yang punya prinsip hidup sudah seharusnya wanita Aceh dituntut untuk mampu bertahan pada prinsip prinsip dasar sebagai wanita punya kharisma dan martabat yang kokoh, prinsip dasar tersebut sudah mengalir dalam darah darah wanita Aceh semenjak dari kecil, namun lingkungan yang yang sudah terkontaminasi budaya luar meruntuhkan prinsip dasar tersebut sehingga meruntuhkan martabat sebahagian mereka yang tidak mempunyai dasar hidup yang kuat.
Wanita Aceh memiliki sifat dasar yang lembut namun akan berubah menjadi keras bila hatinya terluka, ini dibuktikan dengan peristiwa syahidnya suami tercinta Cut Nyak Dhien yaitu Ibrahim Lamnga ketika bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878. Hati Cut Nyak Dhien terluka sehingga membuatnya marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.
Sepeninggal suaminya Cut Nyak Dhien sempat menolak lamaran Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh karena ingin berperang untuk membalas dendam terhadap Belanda atas kematian suaminya. Namun, karena Teuku Umar mempersilakannya untuk ikut bertempur dalam medan perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan Teuku Umar, Hal ini membuat meningkatnya moral semangat perjuangan Aceh saat itu.
Banyak cerita sejarah yang menggambarkan betapa wanita Aceh tegar dalam situasi apapun, bahkan menjadi orang terdepan di medan perang, diantara wanita wanita Aceh lainnya yang terjun memimpin dalam kancah peperangan yaitu Cut Mutia serta Laksamana Hayati yang memimpin sebuah angkatan laut untuk berperang dengan serdadu serdadu Belanda.
Ada saatnya wanita Aceh bersikap dengan penuh kelembutan, terutamanya ketika menjalankan tanggungjawab sebagai seorang istri bagi suami, menjadi ibu bagi anak anaknya, dimana sifat keibuan akan lebih ketara daripada sifat kerasnya. Jangan pernah membuat wanita Aceh marah, karena saat wanita Aceh dalam keadaan seperti itu maka siapapun tidak akan dengan mudah bisa menenangkannya, namun rasa tanggungjawab wanita Aceh tidak bisa diperdebatkan lagi, wanita Aceh setia dan rela melakukan apa saja demi orang disayanginya, terutama keluarga dan anak anak serta orang disekeliling mereka.(cas)
0 comments:
Post a Comment