Wednesday, January 26, 2011

KEMISKINAN DAN DISKRIMINALISASI MENJADI TREND DI ZAMAN DAMAI

Oleh : Ricky A.T
             
        Penandatanganan Mou Helsinky antara GAM – RI merupakan tonggak awal dari terciptanya perdamaian di Aceh, setelah hampir 30 tahun rakyat Aceh menunggu damai yang berbaur dengan konflik berdarah. Keberhasilan damai pada tahun 2006 di Helsinky, juga di ikuti dengan adanya peraturan khusus bagi Aceh, yaitu Undang-Undang no 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh dan harapan akan Aceh baru yang sejahtera secara ekonomi serta aman dan damai dari segala bentuk kriminalisasi bersenjata masa lalu menjadi sebuah kenyataan. Perdamaian di Aceh menjadi semakin lengkap ketika calon gubernur dari Independent terpilih untuk mengisi tampuk pemerintahan selama 5 tahun kedepan, hampir seluruh rakyat Aceh pada saat itu berharap akan ada sebuah perubahan berarti bagi kemajuan Aceh yang selama ini terpuruk oleh konflik.
 Tahun-tahun pemerintahan pun berlalu, dan setelah semuanya berjalan selama 5 tahun, pemerintahan independent yang dipilih oleh rakyat ini berselemak dengan masalah, dari kemampuannya mengelola uang Otsus, APBA, DAU dan DAK yang sangat lemah, manajemen control terhadap SKPA yang rendah, Jaminan Kesehatan Aceh yang gagal dalam proses implementasi, Harga pasar yang semakin tinggi, hingga proses reintegrasi yang setengah hati, dan banyak masalah lainnya yang jika dinilai secara keseluruhan, maka setelah 5 tahun, siapapun dia akan menilai bahwa pemerintahan ini tidak mampu bekerja maksimal untuk membangun Aceh menjadi lebih baik. Lima tahun perdamaian yang baru saja diperingati banyak orang di Aceh 15 Agustus yang lalu, seharusnya menjadi moment utama dalam melihat apa yang telah berubah di Aceh, apa yang sudah dilakukan oleh pemerintahan ini selama kepemimpinannya?
 Dari kacamata politik, Aceh kehilangan bargaining value nya dengan pemerintahan pusat (Jakarta) dan ini menyebabkan turunan UUPA yang seharusnya menjadi utang pemerintah pusat yang harus segera dilunasi kepada rakyat Aceh di seperti di bola-bola, hingga kini, turunan UUPA yang nantinya akan memudahkan proses implementasi Undang-Undang Pemerintahan Aceh hampir semuanya belum di berikan oleh pemerintah pusat, ironi memang, karena secara tertulis, turunan itu harus diselesaikan maksimal setahun setelah UUPA disahkan, namun hingga kini semua masih diawang-awang,lihat saja proses pengesahan RPP Sabang, setidaknya harus menjadikan Wakil Gubernur sebagaiPahlawan (ikon) agar Presiden mau memudahkan pengesahan RPP Sabang, yang padahal itu sudahlah menjadi kewajiban dari pemerintahan Aceh, termasuk Wagub didalamnya. Dari wilayah ekonomi, dengan tingkat inflasi yang tinggi, dan berkurangnya daya beli masyarakat, kemiskinan dapat dipastikan hanya berkurang sedikit dari data riil yang ada, dan sekali lagi memang sungguh ironi, dengan jumlah sumber daya alam yang banyak, namun dihampir tiap sudut kota, pasti ada rumah gubuk yang ditinggali orang-orang miskin, jika pun eksplorasi tambang atau sumber daya alam itu ada, maka kebijakanya hanya memihak pemodal saja, salah contoh konkrit adalah PT.LSM di Lhoong, yang sudah beberapa kali didemo olehmasyarakat sekitar, karena diyakini hanya akan merusak daerah mereka, namun pemerintah tidak pernah menggubris hal itu. Bukan hanya itu, lihatlah sekarang, setelah 5 tahun perdamaian, kesejahteraan yang diinginkan masyarakat belum juga terpenuhi, malah yang terjadi sebaliknya, perdamaian hanya menguntungkan sebelah pihak saja, yaitu pihak yang bertikai, padahal ketika konflik, masyarakat selalu jadi korban kebiadaban mereka yang terlibat konflik.
 Mantan GAM atau Eks Kombatan menjadi raja di berbagai tempat, tak perlu disebutkan lagi tempat-tempatnya, yang pasti, siapapun mereka yang mengatasnamakan Mantan GAM atau Eks Kombatan akan dengan mudah mendapatkan proyek atau pekerjaan dimanapun dia mau, dan dengan sedikit intimidasi dan terror senjata ala konflik, Bupati dan walikota dikabupaten daerah akan tunduk. Lain halnya yang terjadi dari segi keamanan, Aceh semakinterpuruk, situasi dan kondisi keamanan di Aceh, selalu saja di klaim baik-baik saja, dan aman-aman saja, namun lihatlah yang terjadi belakangan ini, Kriminalitas seakan menjadi trend di Aceh, dan hal itu malah membawa budaya konflik, karena dilakukan dengan menggunakan senjata. Trend kriminalitas yang meningkat akhir-akhir ini, tidak dapat disangkal lagi merupakan produk perdamaian yang salah, di era perdamaian, seharusnya masyarakat bisa mendapatkan pekerjaan dengan mudah, mampu bekerja dengan optimal, tanpa harus ada intimidasi oleh berbagai pihak yang mengatasnamakan siapapun,Penyakit sosial yang ditimbul, jika dilihat dari realitas sosial yang ada, ternyata lahir dari situasi dan kondisi kemiskinan yang terus memburuk, untuk tahun ini Aceh juga berada sederetan dengan nusa tenggara barat, papua barat dan beberapa daerah lain dalam tingkatan 10 besar jumlah penduduk miskin, dan ini menjadi bukti, bahwa ketidakstabilan kondisi kesejahteraan rakyat telah menciptakan tatanan sosial yang buruk sehingga menyebabkan lahirnya penyakit-penyakit sosial, sistem sosial dalam masyarakat yang ada saat ini, bukan lagi untuk mengontrol tingkat penyakit sosial yang lahir, melainkan sebagai penyebab lahirnya berbagai bentuk kriminalisasi.
Pemerintah Aceh harusnya berbenah diri dan sadar akan situasi dan kondisi yang terjadi, ini bukan lagi zaman konflik, dan ketika masyarakat menggunakan cara-cara kekerasan untuk mendapatkan kesejahteraan, ini bukanlah hal yang biasa dan kemudian bisa diterima dengan logika dan justifikasi “itu adalah benar”.

Kondisi sosial di Aceh sedang sakit, di tanah yang kaya raya akan segalanya, masyarakat seperti kehilangan arah, lalu bingung harus berbuat apa dengan kekayaan bumi yang ada, dan akhirnya mencari jalan pintas, menghalalkan segala cara untuk keluar dari krisis kemiskinan yang terus mendera.

0 comments:

Post a Comment