Oleh
: Ricky A.T
Penandatanganan
Mou Helsinky antara GAM – RI merupakan tonggak awal dari terciptanya perdamaian
di Aceh, setelah hampir 30 tahun rakyat Aceh menunggu damai yang berbaur dengan
konflik berdarah. Keberhasilan damai pada tahun 2006 di Helsinky, juga di ikuti
dengan adanya peraturan khusus bagi Aceh, yaitu Undang-Undang no 11 tahun 2006
Tentang Pemerintahan Aceh dan harapan akan Aceh baru yang sejahtera secara
ekonomi serta aman dan damai dari segala bentuk kriminalisasi bersenjata masa
lalu menjadi sebuah kenyataan. Perdamaian di Aceh menjadi semakin lengkap
ketika calon gubernur dari Independent terpilih untuk mengisi tampuk
pemerintahan selama 5 tahun kedepan, hampir seluruh rakyat Aceh pada saat itu
berharap akan ada sebuah perubahan berarti bagi kemajuan Aceh yang selama ini
terpuruk oleh konflik.
Tahun-tahun pemerintahan pun berlalu, dan
setelah semuanya berjalan selama 5 tahun, pemerintahan independent yang dipilih
oleh rakyat ini berselemak dengan masalah, dari kemampuannya mengelola uang
Otsus, APBA, DAU dan DAK yang sangat lemah, manajemen control terhadap SKPA
yang rendah, Jaminan Kesehatan Aceh yang gagal dalam proses implementasi, Harga
pasar yang semakin tinggi, hingga proses reintegrasi yang setengah hati, dan
banyak masalah lainnya yang jika dinilai secara keseluruhan, maka setelah 5
tahun, siapapun dia akan menilai bahwa pemerintahan ini tidak mampu bekerja
maksimal untuk membangun Aceh menjadi lebih baik. Lima tahun perdamaian yang
baru saja diperingati banyak orang di Aceh 15 Agustus yang lalu, seharusnya
menjadi moment utama dalam melihat apa yang telah berubah di Aceh, apa yang
sudah dilakukan oleh pemerintahan ini selama kepemimpinannya?
Dari kacamata politik, Aceh kehilangan
bargaining value nya dengan pemerintahan pusat (Jakarta) dan ini menyebabkan
turunan UUPA yang seharusnya menjadi utang pemerintah pusat yang harus segera
dilunasi kepada rakyat Aceh di seperti di bola-bola, hingga kini, turunan UUPA
yang nantinya akan memudahkan proses implementasi Undang-Undang Pemerintahan
Aceh hampir semuanya belum di berikan oleh pemerintah pusat, ironi memang,
karena secara tertulis, turunan itu harus diselesaikan maksimal setahun setelah
UUPA disahkan, namun hingga kini semua masih diawang-awang,lihat saja proses
pengesahan RPP Sabang, setidaknya harus menjadikan Wakil Gubernur sebagaiPahlawan (ikon) agar Presiden mau memudahkan pengesahan RPP Sabang, yang padahal
itu sudahlah menjadi kewajiban dari pemerintahan Aceh, termasuk Wagub
didalamnya. Dari wilayah ekonomi, dengan tingkat inflasi yang tinggi, dan
berkurangnya daya beli masyarakat, kemiskinan dapat dipastikan hanya berkurang
sedikit dari data riil yang ada, dan sekali lagi memang sungguh ironi, dengan
jumlah sumber daya alam yang banyak, namun dihampir tiap sudut kota, pasti ada
rumah gubuk yang ditinggali orang-orang miskin, jika pun eksplorasi tambang
atau sumber daya alam itu ada, maka kebijakanya hanya memihak pemodal saja,
salah contoh konkrit adalah PT.LSM di Lhoong, yang sudah beberapa kali didemo
olehmasyarakat sekitar, karena diyakini hanya akan merusak daerah mereka, namun
pemerintah tidak pernah menggubris hal itu. Bukan hanya itu, lihatlah sekarang,
setelah 5 tahun perdamaian, kesejahteraan yang diinginkan masyarakat belum juga
terpenuhi, malah yang terjadi sebaliknya, perdamaian hanya menguntungkan
sebelah pihak saja, yaitu pihak yang bertikai, padahal ketika konflik,
masyarakat selalu jadi korban kebiadaban mereka yang terlibat konflik.
Mantan GAM atau Eks Kombatan menjadi raja di
berbagai tempat, tak perlu disebutkan lagi tempat-tempatnya, yang pasti,
siapapun mereka yang mengatasnamakan Mantan GAM atau Eks Kombatan akan dengan
mudah mendapatkan proyek atau pekerjaan dimanapun dia mau, dan dengan sedikit
intimidasi dan terror senjata ala konflik, Bupati dan walikota dikabupaten
daerah akan tunduk. Lain halnya yang terjadi dari segi keamanan, Aceh semakinterpuruk, situasi dan kondisi keamanan di Aceh, selalu saja di klaim baik-baik
saja, dan aman-aman saja, namun lihatlah yang terjadi belakangan ini,
Kriminalitas seakan menjadi trend di Aceh, dan hal itu malah membawa budaya
konflik, karena dilakukan dengan menggunakan senjata. Trend kriminalitas yang
meningkat akhir-akhir ini, tidak dapat disangkal lagi merupakan produk
perdamaian yang salah, di era perdamaian, seharusnya masyarakat bisa mendapatkan
pekerjaan dengan mudah, mampu bekerja dengan optimal, tanpa harus ada
intimidasi oleh berbagai pihak yang mengatasnamakan siapapun,Penyakit sosial
yang ditimbul, jika dilihat dari realitas sosial yang ada, ternyata lahir dari
situasi dan kondisi kemiskinan yang terus memburuk, untuk tahun ini Aceh juga
berada sederetan dengan nusa tenggara barat, papua barat dan beberapa daerah
lain dalam tingkatan 10 besar jumlah penduduk miskin, dan ini menjadi bukti,
bahwa ketidakstabilan kondisi kesejahteraan rakyat telah menciptakan tatanan
sosial yang buruk sehingga menyebabkan lahirnya penyakit-penyakit sosial,
sistem sosial dalam masyarakat yang ada saat ini, bukan lagi untuk mengontrol
tingkat penyakit sosial yang lahir, melainkan sebagai penyebab lahirnya berbagai
bentuk kriminalisasi.
Pemerintah
Aceh harusnya berbenah diri dan sadar akan situasi dan kondisi yang terjadi,
ini bukan lagi zaman konflik, dan ketika masyarakat menggunakan cara-cara
kekerasan untuk mendapatkan kesejahteraan, ini bukanlah hal yang biasa dan
kemudian bisa diterima dengan logika dan justifikasi “itu adalah benar”.
Kondisi
sosial di Aceh sedang sakit, di tanah yang kaya raya akan segalanya, masyarakat
seperti kehilangan arah, lalu bingung harus berbuat apa dengan kekayaan bumi
yang ada, dan akhirnya mencari jalan pintas, menghalalkan segala cara untuk
keluar dari krisis kemiskinan yang terus mendera.
0 comments:
Post a Comment