Oleh:Rustam Bugak
Sebelum kita membahas tentang apa
yang dinamakan dengan Wali Nanggroe dan fungsi fungsinya dalam sebuah
pemerintahan terlebih dulu kita mengupas tentang asal muasal qanun dan
fungsinya, menurut bahasa qanun adalah bentuk ukuran atau dasar, Ibnu Sayyidih menyebutkan
dalam Lisanul Arab bahwa qanun bukanlah bahasa Arab asli, namun berasal dari
kata kata asing yang sudah di arabkan, qanun menurut istilah sekarang adalah
kumpulan Undang-Undang dan peraturan yang mengatur berbagai hubungan
masyarakat, baik dari segi individu, sosial maupun materi, didalamnya terangkum
dengan berbagai macam hukum yang antaranya Hukum perniagaan, Hukum perdata,
Hukum adat, dan undang undang pidana, yang intinya peraturan yang mengatur
seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Salah
satu qanun yang tertua yaitu qanun Meukuta Alam, qanun Meukuta Alam merupakan
qanun tersempurna di zamannya, karena kesempurnannya itu banyak Negara Negara
Islam di Asia Tenggara saat itu menggunakan qanun Meukuta Alam sebagai contoh
penerapan Hukum di negerinya bahkan karena kemasyuran perundang rundangan
Kerajaan Islam Aceh saat itu banyak negeri tetangga yang mencontohi peraturan
qanun Meukuta Alam, diantaranya India, Arab,Turki,Mesir,
Spayol,Inggris,Prancis,Portugis dan Tiongkok, ini dikarenakan peraturan
tersebut berunsur kepribadian yang dapat dijiwai oleh hukum
hukum Agama
dan syara’.
salah
seorang ahli sejarah yaitu H. Muhammad Said menulis: “… Sebuah
kerajaan yang jaya masa lampau di Kalimantan, yang bernama Brunei (sekarang
Brunei Darussalam), ketika diperintah oleh seorang sultan bernama Sultan
Hasan, merupakan seorang keras pemeluk Islam setia. Dia telah mengambil
pedoman-pedoman untuk peraturan negerinya dengan berterus terang mengatakan
mengambil teladan Undang-Undang Mahkota Alam Aceh.” .
Adapun
bila melihat sejarah Aceh masa lampau maka tidaklah heran bila hari ini
Pemerintah Aceh berusaha untuk memformat ulang sistim sosial masyarakat Aceh
yang telah serba amburadul, runtuhnya peradaban bangsa ini hingga melupakan
jatidiri akibat expansi pengaruh budaya asing yang menjadikan tatanan sosial
runtuh ketahap terparah dalam sejarah bumi Serambi Mekkah, apa yang
merunsingkan adalah semenjak pemerintahan Presiden Sukarno daerah Aceh tidak
pernah berhenti bergolak, masyarakat Aceh masih tidak puas
terhadap diskriminalisasi pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah pusat,
masyarakat merasa terkhianati oleh beberapa janji janji pusat yang berbentuk
keistimewaan namun hanya berjalan diatas kertas dan kado kado istimewa itupun
hilang seiring waktu yang berlalu, hari ini undang undang Pemerintah Aceh yang
dilahirkan dari MoU Helsinki kembali membuat imaginasi masyarakat Aceh
terbangun dari tidurnya, paket paket istimewa itu dibalut oleh darah darah para
pejuang semasa Aceh dilanda konflik yang menelan korban nyawa banyak orang, dan
sepertinya Jakarta agak enggan untuk merestui kado hadiah perdamaian tersebut
dinikmati oleh provinsi Aceh, ini terbukti oleh statement beberapa pejabat
kementerian di Jakarta namun semuanya masih dalam proses secara berperingkat
yang diusahakan oleh DPR Aceh.
Qanun
Wali Nanggroe
Qanun Wali Nanggroe merupakan babak baru dalam
rangka format ulang peradaban sosial budaya masyarakat Aceh dalam menemukan
jati diri yang sesungguhnya, di Negara jiran Malaysia sudah lama menggunakan
sistim pemerintahan yang bernuansa Monarki tersebut, ianya telah terbentuk
sejak ratusan tahun yang lalu serta diwariskan secara turun temurun dalam
sejarah Kesultanan Melayu, di setiap Negeri Negeri bagian di Malaysia memiliki
pewaris pewaris kesultanan yang mempunyai hak atas negeri yang dinaunginya dan
Sultan bukanlah hasil dari pemilihan yang dilaksanakan oleh Pemerintah, namun
Sultan adalah pewaris terakhir negeri tersebut sebelum menikmati kemerdekaan
dari penjajah dan setiap Negeri Negeri di Malaysia dipimpin oleh seorang
Menteri Besar Negeri masing masing layaknya seorang Gubernur yang bertugas
sebagai kepala Pemerintah yang mengurus hal ehwal kepemerintahan , sedangkan
Sultan bertugas sebagai Pemimpin Adat dan sekaligus pemantau Pemerintahan yang
dijalankan oleh Menteri Besar yang dilantik dari hasil pemenang pemilihan umum
di negeri tersebut, oleh itu Aceh sebagai Negeri yang mempunyai latar belakang
bentuk kesultanan baik secara historis, budaya dan semua ruang lingkup struktur
kepemerintahan adat reusam mencoba membentuk kembali peradaban yang telah lama
hilang berdasarkan pada ketentuan ketentuan yang tidak melanggar dari prinsip
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, Qanun Wali Nanggroe bukanlah hasil
imitasi Pemerintah Aceh terhadap sistim kesultanan Melayu namun Qanun Wali
Nanggroe berpedoman pada sejarah Kerajaan Aceh tempo dulu dan diteruskan pada
sistim Pemerintahan Aceh sekarang sebagaimana sistim Kesultanan Negara Negara
lain di dunia, bukanlah bermakna bila Aceh sudah memiliki Wali Nanggroe,
Lambang dan Himne sendiri akan keluar dari NKRI, prinsipnya Aceh masih berada
dibawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia namun mempunyai hak mengatur
diri sendiri berdasarkan amanah MoU yang telah disepakati antara kedua belah
pihak dalam perjanjian Damai Helsinki.
Esensi
Qanun Wali Nanggroe
Terlepas
dari pro dan kontra qanun qanun yang akan dikeluarkan oleh Dewan PerwakilanRakyat Aceh (DPRA) kita tidak menepis akan kebaikan dari qanun tersebut terhadap
masa depan masyarakat Aceh dimasa yang akan datang, apa yang paling penting
yaitu identitas keacehan akan tercermin dalam setiap qanun yang akan
dikeluarkan oleh DPRA, sebagai tindak lanjut dari amanah MoU Helsinki kiranya
qanun qanun yang dirumuskan bisa mempersatukan masyarakat Aceh kedalam satu
entititas budaya sebagaimana bangsa Melayu, India dan Cina bisa hidup
berdampingan di Negeri Selangor Darul Ehsan Malaysia, mereka berbeda budaya,
bahasa, warna kulit bahkan berbeda agama, namun tiada perpecahan disitu, dan
juga tiada diskriminalisasi terhadap kaum minoritas disitu, bahkan mereka masih
bisa patuh pada Sultan mereka sebagai tempat mengadu yang tidak memihak bila
suatu perselisihan terjadi di negeri Selangor, apa yang kita harapkan suatu hari
nanti Wali Nanggroe tidak memihak dan selalu bersikap netral apabila memang
harus menentukan sikap terhadap suatu masalah yang terjadi di Aceh, sebab ini
menyangkut wibawa dari lembaga Wali Nanggroe sendiri sebagai lembaga adat yang
terhormat dimata masyarakat, harapan penulis supaya kita dapat memberi sedikit
kepercayaan kepada pemerintahan Aceh sekarang, mari kita membangun Aceh dengan
keikhlasan, sesungguhnya tiada yang teranaktirikan dibumi Serambi Mekkah ini,
jangan ciptakan konflik karena kepentingan luar yang menginginkan Aceh terus
dalam peperangan.
0 comments:
Post a Comment