Saturday, December 1, 2012

QANUN dan WALI NANGGROE


Oleh:Rustam Bugak

  Sebelum kita membahas tentang apa yang dinamakan dengan Wali Nanggroe dan fungsi fungsinya dalam sebuah pemerintahan terlebih dulu kita mengupas tentang asal muasal qanun dan fungsinya, menurut bahasa qanun adalah bentuk ukuran atau dasar, Ibnu Sayyidih menyebutkan dalam Lisanul Arab bahwa qanun bukanlah bahasa Arab asli, namun berasal dari kata kata asing yang sudah di arabkan, qanun menurut istilah sekarang adalah kumpulan Undang-Undang dan peraturan yang mengatur berbagai hubungan masyarakat, baik dari segi individu, sosial maupun materi, didalamnya terangkum dengan berbagai macam hukum yang antaranya Hukum perniagaan, Hukum perdata, Hukum adat, dan undang undang pidana, yang intinya peraturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat.
          Salah satu qanun yang tertua yaitu qanun Meukuta Alam, qanun Meukuta Alam merupakan qanun tersempurna di zamannya, karena kesempurnannya itu banyak Negara Negara Islam di Asia Tenggara saat itu menggunakan qanun Meukuta Alam sebagai contoh penerapan Hukum di negerinya bahkan karena kemasyuran perundang rundangan Kerajaan Islam Aceh saat itu banyak negeri tetangga yang mencontohi peraturan qanun Meukuta Alam, diantaranya India, Arab,Turki,Mesir, Spayol,Inggris,Prancis,Portugis dan Tiongkok, ini dikarenakan peraturan tersebut berunsur kepribadian  yang dapat dijiwai oleh hukum hukum  Agama dan syara’.
 salah seorang ahli sejarah yaitu H. Muhammad Said menulis: “… Sebuah kerajaan yang jaya masa lampau di Kalimantan, yang bernama Brunei (sekarang Brunei Darussalam), ketika diperintah oleh seorang sul­tan bernama Sultan Hasan, merupakan seorang keras pemeluk Islam setia. Dia telah mengam­bil pedoman-pedoman untuk peraturan ne­gerinya dengan berterus terang mengatakan mengambil teladan Undang-Undang Mahkota Alam Aceh.” .
          Adapun bila melihat sejarah Aceh masa lampau maka tidaklah heran bila hari ini Pemerintah Aceh berusaha untuk memformat ulang sistim sosial masyarakat Aceh yang telah serba amburadul, runtuhnya peradaban bangsa ini hingga melupakan jatidiri akibat expansi pengaruh budaya asing yang menjadikan tatanan sosial runtuh ketahap terparah dalam sejarah bumi Serambi Mekkah, apa yang merunsingkan adalah semenjak pemerintahan Presiden Sukarno daerah Aceh tidak pernah berhenti bergolak,  masyarakat Aceh masih tidak puas terhadap diskriminalisasi pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah pusat, masyarakat merasa terkhianati oleh beberapa janji janji pusat yang berbentuk keistimewaan namun hanya berjalan diatas kertas dan kado kado istimewa itupun hilang seiring waktu yang berlalu, hari ini undang undang Pemerintah Aceh yang dilahirkan dari MoU Helsinki kembali membuat imaginasi masyarakat Aceh terbangun dari tidurnya, paket paket istimewa itu dibalut oleh darah darah para pejuang semasa Aceh dilanda konflik yang menelan korban nyawa banyak orang, dan sepertinya Jakarta agak enggan untuk merestui kado hadiah perdamaian tersebut dinikmati oleh provinsi Aceh, ini terbukti oleh statement beberapa pejabat kementerian di Jakarta namun semuanya masih dalam proses secara berperingkat yang diusahakan oleh DPR Aceh.

Qanun Wali Nanggroe
 Qanun Wali Nanggroe merupakan babak baru dalam rangka format ulang peradaban sosial budaya masyarakat Aceh dalam menemukan jati diri yang sesungguhnya, di Negara jiran Malaysia sudah lama menggunakan sistim pemerintahan yang bernuansa Monarki tersebut, ianya telah terbentuk sejak ratusan tahun yang lalu serta diwariskan secara turun temurun dalam sejarah Kesultanan Melayu, di setiap Negeri Negeri bagian di Malaysia memiliki pewaris pewaris kesultanan yang mempunyai hak atas negeri yang dinaunginya dan Sultan bukanlah hasil dari pemilihan yang dilaksanakan oleh Pemerintah, namun Sultan adalah pewaris terakhir negeri tersebut sebelum menikmati kemerdekaan dari penjajah dan setiap Negeri Negeri di Malaysia dipimpin oleh seorang Menteri Besar Negeri masing masing layaknya seorang Gubernur yang bertugas sebagai kepala Pemerintah yang mengurus hal ehwal kepemerintahan , sedangkan Sultan bertugas sebagai Pemimpin Adat dan sekaligus pemantau Pemerintahan yang dijalankan oleh Menteri Besar yang dilantik dari hasil pemenang pemilihan umum di negeri tersebut, oleh itu Aceh sebagai Negeri yang mempunyai latar belakang bentuk kesultanan baik secara historis, budaya dan semua ruang lingkup struktur kepemerintahan adat reusam mencoba membentuk kembali peradaban yang telah lama hilang berdasarkan pada ketentuan ketentuan yang tidak melanggar dari prinsip prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, Qanun Wali Nanggroe bukanlah hasil imitasi Pemerintah Aceh terhadap sistim kesultanan Melayu namun Qanun Wali Nanggroe berpedoman pada sejarah Kerajaan Aceh tempo dulu dan diteruskan pada sistim Pemerintahan Aceh sekarang sebagaimana sistim Kesultanan Negara Negara lain di dunia, bukanlah bermakna bila Aceh sudah memiliki Wali Nanggroe, Lambang dan Himne sendiri akan keluar dari NKRI, prinsipnya Aceh masih berada dibawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia namun mempunyai hak mengatur diri sendiri berdasarkan amanah MoU yang telah disepakati antara kedua belah pihak dalam perjanjian Damai Helsinki.

Esensi Qanun Wali Nanggroe

          Terlepas dari pro dan kontra qanun qanun yang akan dikeluarkan oleh Dewan PerwakilanRakyat Aceh (DPRA) kita tidak menepis akan kebaikan dari qanun tersebut terhadap masa depan masyarakat Aceh dimasa yang akan datang, apa yang paling penting yaitu identitas keacehan akan tercermin dalam setiap qanun yang akan dikeluarkan oleh DPRA, sebagai tindak lanjut dari amanah MoU Helsinki kiranya qanun qanun yang dirumuskan bisa mempersatukan masyarakat Aceh kedalam satu entititas budaya  sebagaimana bangsa Melayu, India dan Cina bisa hidup berdampingan di Negeri Selangor Darul Ehsan Malaysia, mereka berbeda budaya, bahasa, warna kulit bahkan berbeda agama, namun tiada perpecahan disitu, dan juga tiada diskriminalisasi terhadap kaum minoritas disitu, bahkan mereka masih bisa patuh pada Sultan mereka sebagai tempat mengadu yang tidak memihak bila suatu perselisihan terjadi di negeri Selangor, apa yang kita harapkan suatu hari nanti Wali Nanggroe tidak memihak dan selalu bersikap netral apabila memang harus menentukan sikap terhadap suatu masalah yang terjadi di Aceh, sebab ini menyangkut wibawa dari lembaga Wali Nanggroe sendiri sebagai lembaga adat yang terhormat dimata masyarakat, harapan penulis supaya kita dapat memberi sedikit kepercayaan kepada pemerintahan Aceh sekarang, mari kita membangun Aceh dengan keikhlasan, sesungguhnya tiada yang teranaktirikan dibumi Serambi Mekkah ini, jangan ciptakan konflik karena kepentingan luar yang menginginkan Aceh terus dalam peperangan.



0 comments:

Post a Comment