Parlemen |
Oleh :
Rustam Bugak
Setelah melalui fase
pesta demokrasi pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat untuk Parlemen Aceh 9 april
lalu yang melahirkan beberapa wakil rakyat
periode 2014 – 2019 untuk menduduki kursi Dewan terhormat rakyat Aceh,
walaupun sempat menimbulkan pro dan kontra akan legalitas beberapa anggota
dewan penyandang kemenangan di pemilihan legislatif tersebut, akan tetapi terlepas dari hiruk
pikuk masalah yang timbul dari pemilihan legislatif di aceh maka hari ini rakyat Aceh akan
menunggu janji dan aksi para dewan yang sudah terpilih, yang pastinya pemilihan
legislatif bukanlah ajang untuk mencari siapa menang dan siapa kalah, dipundak
mereka terpikul beban dan janji yang harus mereka tunaikan sebelum masa jabatan
dewan berakhir. Satu hal lagi yang patut kita pertanyakan yaitu sejauh mana
keinginan parlemen aceh yang baru ini dalam memperjuangkan bentuk kekhususan
aceh yang tertuang dalam MoU Helsinki, apakah dengan berakhirnya dominasi kursi
Partai Aceh di parlemen akan membuat MoU Helsinki dianggap tidak ampuh lagi
untuk diperjuangkan karena suara parlemen terpecah oleh beberapa kursi partai
nasional,ataupun dengan komposisi parlemen
multi partai yang baru ini akan menjadi
ajang penguat kekhususan aceh dalam memperjuangkan butir butir MoU yang masih
setengah hati ditanggapi oleh pemerintah pusat.
Mengingat pada konflik
aceh dimasa lalu yang mengakibatkan ribuan rakyat aceh menjadi korban ganasnya
sebuah konflik tentunya merupakan pelajaran berharga bagi kita semua yang
pernah merasakannya, siapapun dia pasti tidak ingin kembali melalui saat - saat
seperti itu dalam hidupnya, sudah seharusnya segenap pemimpin, akademisi dan
intelektual di negeri ini sadar akan makna perdamaian yang dicita citakan oleh
masyarakat aceh umumnya, dan hari ini itu semua telah terwujud yaitu dengan tercapainya
perdamaian yang di idam - idamkan oleh Rakyat Aceh, Pemerintah dan GAM telah duduk bersama dimeja
perundingan sehingga menghasilkan beberapa poin kesepahaman yang lebih dikenal
dengan MoU Helsinki sebagai bargaining politik Jakarta terhadap perlawanan
Rakyat Aceh saat itu, MoU Helsinki adalah hasil sebuah perang yang menelan
banyak korban jiwa dan harta benda rakyat aceh, keistimewaan tersebut direbut
dengan darah darah para pejuang yang ingin melihat negeri ini makmur serta
tidak dizalimi oleh pemerintah, karena
itu siapapun dia yang duduk di parlemen aceh mendatang harus memperjuangkan
butir butir perjanjian tersebut yang masih enggan direstui oleh Pemerintah
Pusat, ini adalah tanggung jawab utama yang di emban oleh Wakil Rakyat Aceh di
parlemen, disamping janji janji lain yang pernah mereka ucapkan didepan masyarakat
, yang diharapkan hari ini yaitu supaya Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA )
yang baru terpilih agar lebih dewasa dalam menyahuti setiap keinginan
masyarakat Aceh sehingga perdamaian yang sedia ada akan kekal selamanya, secara
bertahap kita akan menuju cita - cita mulia bangsa ini supaya selaras dengan
jalur yang ditempuh oleh pendahulu negeri ini sebelumnya.
MoU Helsinki Jalan Menuju Kemakmuran
Semua kita tahu bahwa
didalam perjanjian yang telah disetujui oleh Pemerintah RI dengan GAM saat itu
tertuang beberapa butir hasil perjanjian yang menguntungkan Rakyat Aceh, dengan
disaksikan mediator perundingan yaitu Marti Ahtisaari yang mewakili delegasi UniEropa menghasilkan poin - poin yang telah disepakati bersama diantaranya
pembagian 70 – 30 % hasil dari Aceh yang merupakan dasar utama timbulnya
perlawanan rakyat Aceh terhadap Pusat, kemudian menyangkut lambang kedaerahan
Aceh yaitu kekhususan Aceh dibidang hak untuk menggunakan himne, bendera dan adat
lokal serta hak pemberlakuan hukum syariat Islam secara kaffah, ini merupakan
jalan Aceh menuju sebuah negeri yang mandiri tanpa campur tangan Pusat secara
jauh dalam hal urusan didalam tata Pemerintahan Aceh, sedangkan kewajiban
Pemerintah Pusat hanyalah menjaga setiap jengkal wilayah Aceh tetap dalam
NKRI, apa yang menyebabkan Pemerintah
Pusat begitu enggan untuk merestui poin – poin perjanjian yang telah disepakati
dimeja perundingan, sementara dinegara – negara maju lainnya sudah lama
menerapkan sistim pemerintahan desentralisasi sepeti ini toh tiada yang perlu
dikhawatirkan akan pemisahan diri dari Pemerintah Pusat, dan secara tidak
langsung akan mengurangi beban Pemerintah Pusat terhadap daerah dimana daerah
akan mengurus masalahnya sendiri tanpa harus menyibukkan pejabat di Pusat
menyangkut urusan kecil yang bisa diselesaikan oleh Pemerintah daerah. Beberapa
pengamat malah mengatakan sejalan dengan pandangan di atas, Gunawan, (2002:79) mengemukakan bahwa
desentralisasi menjadi harapan sekaligus tantangan bagi proses demokratisasi
Indonesia. Globalisasi di semua belahan dunia menimbulkan anomi, disintegrasi,
konflik berbasis lokalitas etnis dan budaya bahkan agama dan ekses idiologi
lainnya. Namun di sisi lain globalisasi akan melibas nilai dan konsep budaya
lokal yang tidak sesuai dengan norma dan standar nilai internasional.
Sejalan dengan
hal tersebut Tjandra (2004:12) mengungkap bahwa pokok-pokok otonomi daerah
antara lain: 1) konsep otonomi daerah berkaitan dengan cara pembagian secara
vertikal kekuasaan pemerintahan, 2) dasar kerakyatan dalam desentralisasi
adalah hak rakyat di daerah untuk menentukan nasibnya sendiri dan mengatur
pemerintahan sendiri (zelf bestuur), 3) sistem pelayanan publik yang
efektif dan efisien adalah prinsip dasar dari desentralisasi, 4) pemerintahan
daerah yang sinergis dengan prinsip Good Governance adalah pemerintahan
daerah yang berkarakter terbuka, kerakyatan, akuntabel dan partisipatif.
Saya kira kerangka
berfikir pejabat Pemerintah Pusat masih sangat ortodok dan sangat
memprihatinkan bila dizaman yang sudah maju seperti ini penguasa negara kita
masih berfikir untuk menerapkan sistim sentralisasi kekuasaan, sehingga apabila
Pejabat Pusat yang diberikan kewenangan mengurus hal ehwal kepentingan
Pemerintah daerah menyeleweng dari tugasnya terhadap daerah maka hanya rakyat
yang menanggung akibatnya yaitu dengan terjadinya berbagai macam bentuk korupsi
pejabat tersebut, sudah banyak contoh kita lihat kebrobrokan birokrasi negeri
ini, sehingga menjadikan bentuk Pemerintahan seperti ini diibaratkan sebagai reinkarnasi
dari sistim penjajahan yang pernah diterapkan oleh Pemerintahan Kolonial dizaman
perang dunia kedua untuk menguras seluruh hasil alam daerah untuk dibawa pulang
kenegara penjajah, apakah ini yang dimahukan oleh Pemerintah pusat terhadap
Aceh..?? ataupun semua itu hanyalah kebetulan saja terjadi ketika birokrasi
menjadi penghambat kemajuan suatu negara, masalah implementasi MoU menjadi PR
besar Parlemen Aceh yang baru terbentuk melalui proses demokrasi negara ini,
semua ini bukanlah menyangkut Partai – Partai yang menguasai Parlemen Aceh
namun lebih kepada kepentingan kesejahteraan rakyat Aceh, apabila MoU Helsinki
terealisasikan maka akan terwujudlah Aceh yang makmur dan sejahtera, dibutuhkan
keberanian Dewan Perwakilan Rakyat untuk lebih proaktif dalam memperjuangkan
kepentingan Masyarakat melalui tindakan yang nyata, sehingga para anggota Dewan
yang sudah terpilih tidak sampai terjebak dengan sistim politik kepartaian di
parlemen nanti.
0 comments:
Post a Comment