Sunday, May 11, 2014

NASIB IMPLEMENTASI MoU HELSINKI DI TANGAN PARLEMEN ACEH 2014

Parlemen


Oleh : Rustam Bugak
Setelah melalui fase pesta demokrasi pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat untuk Parlemen Aceh 9 april lalu yang melahirkan beberapa wakil rakyat  periode 2014 – 2019 untuk menduduki kursi Dewan terhormat rakyat Aceh, walaupun sempat menimbulkan pro dan kontra akan legalitas beberapa anggota dewan penyandang kemenangan di pemilihan legislatif  tersebut, akan tetapi terlepas dari hiruk pikuk masalah yang timbul dari pemilihan legislatif  di aceh maka hari ini rakyat Aceh akan menunggu janji dan aksi para dewan yang sudah terpilih, yang pastinya pemilihan legislatif bukanlah ajang untuk mencari siapa menang dan siapa kalah, dipundak mereka terpikul beban dan janji yang harus mereka tunaikan sebelum masa jabatan dewan berakhir. Satu hal lagi yang patut kita pertanyakan yaitu sejauh mana keinginan parlemen aceh yang baru ini dalam memperjuangkan bentuk kekhususan aceh yang tertuang dalam MoU Helsinki, apakah dengan berakhirnya dominasi kursi Partai Aceh di parlemen akan membuat MoU Helsinki dianggap tidak ampuh lagi untuk diperjuangkan karena suara parlemen terpecah oleh beberapa kursi partai nasional,ataupun dengan komposisi  parlemen multi partai  yang baru ini akan menjadi ajang penguat kekhususan aceh dalam memperjuangkan butir butir MoU yang masih setengah hati ditanggapi oleh pemerintah pusat.
Mengingat pada konflik aceh dimasa lalu yang mengakibatkan ribuan rakyat aceh menjadi korban ganasnya sebuah konflik tentunya merupakan pelajaran berharga bagi kita semua yang pernah merasakannya, siapapun dia pasti tidak ingin kembali melalui saat - saat seperti itu dalam hidupnya, sudah seharusnya segenap pemimpin, akademisi dan intelektual di negeri ini sadar akan makna perdamaian yang dicita citakan oleh masyarakat aceh umumnya, dan hari ini itu semua telah terwujud yaitu dengan tercapainya perdamaian yang di idam - idamkan oleh Rakyat Aceh,  Pemerintah dan GAM telah duduk bersama dimeja perundingan sehingga menghasilkan beberapa poin kesepahaman yang lebih dikenal dengan MoU Helsinki sebagai bargaining politik Jakarta terhadap perlawanan Rakyat Aceh saat itu, MoU Helsinki adalah hasil sebuah perang yang menelan banyak korban jiwa dan harta benda rakyat aceh, keistimewaan tersebut direbut dengan darah darah para pejuang yang ingin melihat negeri ini makmur serta tidak dizalimi oleh pemerintah,  karena itu siapapun dia yang duduk di parlemen aceh mendatang harus memperjuangkan butir butir perjanjian tersebut yang masih enggan direstui oleh Pemerintah Pusat, ini adalah tanggung jawab utama yang di emban oleh Wakil Rakyat Aceh di parlemen, disamping janji janji lain yang pernah mereka ucapkan didepan masyarakat , yang diharapkan hari ini yaitu supaya Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA ) yang baru terpilih agar lebih dewasa dalam menyahuti setiap keinginan masyarakat Aceh sehingga perdamaian yang sedia ada akan kekal selamanya, secara bertahap kita akan menuju cita - cita mulia bangsa ini supaya selaras dengan jalur yang ditempuh oleh pendahulu negeri ini sebelumnya.

MoU Helsinki Jalan Menuju Kemakmuran
Semua kita tahu bahwa didalam perjanjian yang telah disetujui oleh Pemerintah RI dengan GAM saat itu tertuang beberapa butir hasil perjanjian yang menguntungkan Rakyat Aceh, dengan disaksikan mediator perundingan yaitu Marti Ahtisaari yang mewakili delegasi UniEropa menghasilkan poin - poin yang telah disepakati bersama diantaranya pembagian 70 – 30 % hasil dari Aceh yang merupakan dasar utama timbulnya perlawanan rakyat Aceh terhadap Pusat, kemudian menyangkut lambang kedaerahan Aceh yaitu kekhususan Aceh dibidang hak untuk menggunakan himne, bendera dan adat lokal serta hak pemberlakuan hukum syariat Islam secara kaffah, ini merupakan jalan Aceh menuju sebuah negeri yang mandiri tanpa campur tangan Pusat secara jauh dalam hal urusan didalam tata Pemerintahan Aceh, sedangkan kewajiban Pemerintah Pusat hanyalah menjaga setiap jengkal wilayah Aceh tetap dalam NKRI,  apa yang menyebabkan Pemerintah Pusat begitu enggan untuk merestui poin – poin perjanjian yang telah disepakati dimeja perundingan, sementara dinegara – negara maju lainnya sudah lama menerapkan sistim pemerintahan desentralisasi sepeti ini toh tiada yang perlu dikhawatirkan akan pemisahan diri dari Pemerintah Pusat, dan secara tidak langsung akan mengurangi beban Pemerintah Pusat terhadap daerah dimana daerah akan mengurus masalahnya sendiri tanpa harus menyibukkan pejabat di Pusat menyangkut urusan kecil yang bisa diselesaikan oleh Pemerintah daerah. Beberapa pengamat malah mengatakan sejalan dengan pandangan di atas, Gunawan, (2002:79) mengemukakan bahwa desentralisasi menjadi harapan sekaligus tantangan bagi proses demokratisasi Indonesia. Globalisasi di semua belahan dunia menimbulkan anomi, disintegrasi, konflik berbasis lokalitas etnis dan budaya bahkan agama dan ekses idiologi lainnya. Namun di sisi lain globalisasi akan melibas nilai dan konsep budaya lokal yang tidak sesuai dengan norma dan standar nilai internasional.
Sejalan dengan hal tersebut Tjandra (2004:12) mengungkap bahwa pokok-pokok otonomi daerah antara lain: 1) konsep otonomi daerah berkaitan dengan cara pembagian secara vertikal kekuasaan pemerintahan, 2) dasar kerakyatan dalam desentralisasi adalah hak rakyat di daerah untuk menentukan nasibnya sendiri dan mengatur pemerintahan sendiri (zelf bestuur), 3) sistem pelayanan publik yang efektif dan efisien adalah prinsip dasar dari desentralisasi, 4) pemerintahan daerah yang sinergis dengan prinsip Good Governance adalah pemerintahan daerah yang berkarakter terbuka, kerakyatan, akuntabel dan partisipatif.

Saya kira kerangka berfikir pejabat Pemerintah Pusat masih sangat ortodok dan sangat memprihatinkan bila dizaman yang sudah maju seperti ini penguasa negara kita masih berfikir untuk menerapkan sistim sentralisasi kekuasaan, sehingga apabila Pejabat Pusat yang diberikan kewenangan mengurus hal ehwal kepentingan Pemerintah daerah menyeleweng dari tugasnya terhadap daerah maka hanya rakyat yang menanggung akibatnya yaitu dengan terjadinya berbagai macam bentuk korupsi pejabat tersebut, sudah banyak contoh kita lihat kebrobrokan birokrasi negeri ini, sehingga menjadikan bentuk Pemerintahan seperti ini diibaratkan sebagai reinkarnasi dari sistim penjajahan yang pernah diterapkan oleh Pemerintahan Kolonial dizaman perang dunia kedua untuk menguras seluruh hasil alam daerah untuk dibawa pulang kenegara penjajah, apakah ini yang dimahukan oleh Pemerintah pusat terhadap Aceh..?? ataupun semua itu hanyalah kebetulan saja terjadi ketika birokrasi menjadi penghambat kemajuan suatu negara, masalah implementasi MoU menjadi PR besar Parlemen Aceh yang baru terbentuk melalui proses demokrasi negara ini, semua ini bukanlah menyangkut Partai – Partai yang menguasai Parlemen Aceh namun lebih kepada kepentingan kesejahteraan rakyat Aceh, apabila MoU Helsinki terealisasikan maka akan terwujudlah Aceh yang makmur dan sejahtera, dibutuhkan keberanian Dewan Perwakilan Rakyat untuk lebih proaktif dalam memperjuangkan kepentingan Masyarakat melalui tindakan yang nyata, sehingga para anggota Dewan yang sudah terpilih tidak sampai terjebak dengan sistim politik kepartaian di parlemen nanti.

0 comments:

Post a Comment